Pengajaran sastra dewasa ini
seharusnya mendapat perhatian yang memadai, baik kedudukannya, metode maupun
strategi pembelajarannya. Berkaitan dengan masalah tersebut hingga kini masih
terdengar sinyalemen yang menyatakan bahwa pengajar sastra dewasa ini masih
keliru karena dianggap kurang apresiatif atau kurang mengajarkan nilai-nilai
sosial yang terkandung dalam karya sastra (Moody, 1968), tetapi lebih banyak
pembelajarannya ke teori.
Banyak orang menuntut bahwa pengajaran sastra di
sekolah-sekolah kepada siswa harus difokuskan pada upaya untuk memiliki
kemampuan apresiasi, dan kemampuan memiliki sikap serta nilai kehidupan dan
keindahan. Ironisnya, kelemahan
pengajaran sastra di sekolah-sekolah adalah kurangnya guru-guru bahasa
Indonesia memiliki minat bersastra, kurang memiliki daya apresiasi, kurang
memiliki daya gairah dan simpatik terhadap karya sastra (Witherington,
1950), kurang memiliki kemampuan memburu
(Culler, 1977), menangkap, menggauli makna karya sastra, dan kurang memiliki
proses pengakraban karya sastra kepada siswa serta kurang memiliki rasa
keindahan terhadap karya seni.
Guru sastra yang dapat mencari
suasana penyampaian pengajaran yang menggairahkan, menyenangkan, mengakrabkan
karya sastra, dan mengajarkan sastra yang yang bersifat apresiatif, reseptif,
dan produktif, di samping memberikan pengetahuan. Sesungguhnya, guru sastra itu
bukanlah guru tukang mengkhayal, melainkan seorang seniman kreatif - kritis -
reflektif - ekspresif - reseptif, dan intelektual, yang harus terus menyesuaikan
diri dengan situasi dan persoalan hidup yang dihadapinya. Hal semacam inilah
merupakan problema yang dilematis di kalangan guru-guru bahasa Indonesia yang
mengajar sastra. Jika, terlalu banyak menekankan pembelajaran sastra pada segi
apresiatif akan berakibatkan ketinggalan pemilikan pengetahuan sastra di
kalangan siswa. Demikian pula sebaliknya.