Jumat, 28 Desember 2012

Dilema Pengajaran Sastra




Pengajaran sastra dewasa ini seharusnya mendapat perhatian yang memadai, baik kedudukannya, metode maupun strategi pembelajarannya. Berkaitan dengan masalah tersebut hingga kini masih terdengar sinyalemen yang menyatakan bahwa pengajar sastra dewasa ini masih keliru karena dianggap kurang apresiatif atau kurang mengajarkan nilai-nilai sosial yang terkandung dalam karya sastra (Moody, 1968), tetapi lebih banyak pembelajarannya ke teori.
Banyak orang menuntut bahwa pengajaran sastra di sekolah-sekolah kepada siswa harus difokuskan pada upaya untuk memiliki kemampuan apresiasi, dan kemampuan memiliki sikap serta nilai kehidupan dan keindahan. Ironisnya,  kelemahan pengajaran sastra di sekolah-sekolah adalah kurangnya guru-guru bahasa Indonesia memiliki minat bersastra, kurang memiliki daya apresiasi, kurang memiliki daya gairah dan simpatik terhadap karya sastra (Witherington, 1950),  kurang memiliki kemampuan memburu (Culler, 1977), menangkap, menggauli makna karya sastra, dan kurang memiliki proses pengakraban karya sastra kepada siswa serta kurang memiliki rasa keindahan terhadap karya seni.
Guru sastra yang dapat mencari suasana penyampaian pengajaran yang menggairahkan, menyenangkan, mengakrabkan karya sastra, dan mengajarkan sastra yang yang bersifat apresiatif, reseptif, dan produktif, di samping memberikan pengetahuan. Sesungguhnya, guru sastra itu bukanlah guru tukang mengkhayal, melainkan seorang seniman kreatif - kritis - reflektif - ekspresif - reseptif, dan intelektual, yang harus terus menyesuaikan diri dengan situasi dan persoalan hidup yang dihadapinya. Hal semacam inilah merupakan problema yang dilematis di kalangan guru-guru bahasa Indonesia yang mengajar sastra. Jika, terlalu banyak menekankan pembelajaran sastra pada segi apresiatif akan berakibatkan ketinggalan pemilikan pengetahuan sastra di kalangan siswa. Demikian pula sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar