Membaca dengan
Pendekatan SAVI
Membaca dengan
pendekatan SAVI diperkenalkan oleh Meier. Membaca dengan pendekatan SAVI
merupakan cara baru dalam belajar.
SAVI adalah akronim
dari Somatis ( bersifat Raga ), Auditori ( bersifat suara ), Visual ( bersifat gambar
), dan Intelektual ( bersifat merenungkan ). Menurut Meier, apabila sebuah
pembelajaran dapat melibatkan seluruh unsur SAVI ini, pembelajaran akan
berlangsung efektif sekaligus atraktif. Sebagai contoh kasus apabila kita
membaca sebuah buku.
Pertama, membaca secara
Somatis. Ini berate bahwa saat membaca, diperlukan melibatkan fisik kita.
Membaca akan efektif apabila posisi tubuh kita dalam keadaan yang relaks, tidak
tegang. Apabila selama membaca mengalami rasa jenuh, pembaca disarankan mencoba
untuk menghentikan proses pembacaan sejenak dan menggerakkan seluruh tubuh. Hal
ini bertujuan untuk menyegarkan kembali pikiran dan perasaan kita.
Kedua, membaca dengan cara
Auditoris. Membaca auditoris dipakai ketika menemukan kalimat (yang kita baca)
yang sulit sekali dicerna, atau, pada saat membaca menemukan baris-baris
kalimat yang menarik, tetepi sulit untuk berkonsertrasi untuk memahaminya.
Membaca secara auditoris dalam hal ini maksudnya membaca dengan keras
kalimat-kalimat tersebut sehingga telinga pembaca itu sendiri mendengar secara
jelas. Hal itu dimaksudkan untuk mempercepat dan lebih menambah keakuratan
dalan memahami kalimat tersebut.
Ketiga, membaca secara
visual. Seorang pakar pendidikan bernama Eric Jensen mengemukakan bahwa benak
pembaca akan merasa fun apabila pada saat pertama kali
menyerap informasi, benak kita tersebut diberi informasi dalam bentuk Gambar
(ikon, symbol, atau ornamen) dan informasi itu memiliki kekayaan warna. Buku
yang mampu membuat para pembacanya merasa senang, sebaiknya memang diber
sentuhan visual atau –dalam bahasa lain- menggunakan bahasa rupa.
Apabila membaca
buku-buku yang tanpa gambar, misalnya buku-buku fiksi, kita layak berhenti
sejenak untuk membayangkan tokoh-tokoh yang dilukidkan oleh sang pengarang
lewat kata-kata. Proses membayangkan ini, jelas, akan mengefektifkan pembacaan
buku tersebut. Juga, kadang-kadang ada pengarang buku nonfiksi (ilmiah) yang
tidak menyertakan gambar. Pembaca dapat memanfaatkan potensi visual kita untuk
menggambarkan sendiri apa-apa yang diuraikan oleh sang pengarang di
benak pembaca agar pemahaman pembaca lebih efektif.
Keempat, membaca secara
Intelektual. Kata “Intelektual” yang digunakan di dini perlu diberi catatan
khusus. Intelektual disini menunjukkan apa yang dilakukan oleh pembelajar dalam
pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan pengalaman dan
menciptakan hubungan, makana, rencana, dan nilai pengalamn tersebut.
Intelektual adalah bagian diri yang merenung, mencipta, memecahkan masalah, dan
membangun makana.
Dalam proses membaca
buku, potensi intelektual ini berkaitan erat dengan menulis. Apabila setiap
kali selesai membaca sebuah buku (baik itu hanya satu halaman, satu bab, atau
sekian bagian buku) kita lalu berhenti sejenak untuk memberikan catatan-catatan
atau merumuskan secara tertuls apa pun yang kita peroleh dari pembacaan
tersebut, tentulah kita akan memperoleh manfaat lebih besar ketimbang
membiarkan saja materi yang kit abaca tanpa proses penulisan.
Teori Meier tersbut
terlatar belakangi oleh belajar yang menurutnya akan selalu terhambat jika
memisahkan tubuh dan pikiran.
Perumpamaan lain ia
kemukakan. Mengapa banyak orang yang mengantuk atau tertidur lelap saat
seseorang tengah berceramah? Lemahnya materi ceramah adalah salah satu sisi.
Tapi sisi lain yang memberi sumbangan penting, kata Meier, karena peserta
ceramah tidak diperbolehkan (atau tidak terbiasa) menggerakkan badan. “Banyak
peserta kesulitan berkonsentrasi tanpa melakukan sesuatu secara fisik,”
katanya.
“Pemisahan tubuh dan
pikiran dalam kebudayaan Barat sangat keliru. Penelitian neurologis telah
membongkar keyakinan kebudayaan Barat yang salah bahwa pikiran dan tubuh adalah
dua entitas yang berbeda. Temuan mereka menunjukkan bahwa pikiran tersebar ke
seluruh tubuh. Tubuh adalah pikiran, begitu juga sebaliknya,” ungkap Meier.
Direktur Center for
Accelerated Learning di Lake Geneva, Wisconsin itu menyoroti secara khusus
budaya auditori atau budaya mendengar dan melafalkan dengan suara. Mengutip
cerita Dr Seuss, penulis Hooray for Diffendoofer Day, Meier mengisahkan salah
seorang penjaga perpustakaan paling aneh di kampus Seuss. Tak seperti penjaga
perpustakaan pada umumnya yang merasa terganggu dengan suara berisik atau
justru memberi larangan berbicara keras saat orang membaca di perpustakaan,
nona Loon, penjaga perpustakaan itu, justru melakukan sebaliknya.
“Nona Loon adalah
penjaga perpustakaan kami. Dia bersembunyi di balik rak, dan sering berteriak,
‘Bicaralah lebih keras!’ ketika kami sedang membaca dalam hati,” ucap Meier
menirukan Seuss. Dalam posisi itu, kata Meier, penjaga perpustakaan itu yakin
akan pentingnya mengembalikan cara auditori dalam kegiatan belajar.
Strategi dalam menerapkan SAVI
• Belajar akan Efektif dalam Keadaan “Fun” (menyenangkan).
Secara meyakinkan, kalimat ini tertera pada halaman judul dalam buku The
Learning Revolution. Ini mencerminkan keinginan kuat pengarangnya agar kalimat
revolusi ini benar-benar diperhatikan dan diterapkan dalam pembelajaran. Apa
alasannya? Ada berbagai teori tentang otak manusia. Salah satu teori tentang
otak yang banyak dikupas dalam pendidikan adalah apa yang disebut oleh Dave
Meier dalam bukunya, The Accelerated Learning Hand Book (Kaifa, 2004), sebagai
Teori Otak Triune. Teori ini menyatakan bahwa otak manusia terdiri tiga bagian,
yaitu otak reptil, otak tengah (sistim limbik), dan otak berpikir (neokorteks).
Jika perasaan pembelajaran (siswa) dalam keadaan positif (gembira, senang),
maka pikiran siswa akan “naik tingkat” dari otak tengah ke neokorteks (otak
berpikir). Inilah yang dimaksud dengan belajar akan efektif. Sebaliknya,
manakala perasaan siswa dalam keadaan negative (tegang, takut) sebagaimana yang
dikisahkan pada awal tulisan ini –pembelajaran meliteristik- maka pikiran siswa
akan “turun tingkat” dari otak tengah menuju otak reptile. Pada situasi ini
belajar tidak akan berjalan atau berhenti sama sekali.
• Belajar adalah Berkreasi, Bukan Mengkonsumsi. Sudah bukan
zamannya lagi anak disuapi, tetapi ia harus menciptakan sendiri. Pembelajaran
harus berpusat pada siswa, bukan berpusat pada guru. Oleh karena itu, pada saat
merancang pembelajaran, guru harus memikirkan apa yang akan dilakukan siswa,
bukan apa yang dilakukan guru. Apabila guru masih mempertahankan pembelajaran
konsumtif dengan metode unggulannya ceramah, maka kemampuan siswa menurut
Winarno Surakhmad (Fasilitator, Edisi I Tahun 2003), akan sedikit lebih tinggi
dari kemampuan seekor monyet yang pandai.
• Belajar yang Baik itu Bersifat Sosial. Tak perlu diragukan
lagi manfaat yang akan dirasakan jika belajar dilakukan dalam kelompok.
Berkali-kali riset dilakukan untuk membuktikan keefektifan belajar kelompok.
Hasilnya memang selalu menunjukkan bahwa belajar akan lebih berhasil, bahkan
keberhasilannya berlipat-lipat, jika dilakukan secara kelompok ketimbang
belajar secara individual.
• Belajar yang Baik Juga Bersifat Multi Inderawi. Siswa belajar
dengan gayanya masing-masing. Kita tidak dapat memaksakan suatu gaya belajar
yang bukan gayanya kepada seorang siswa. Setidaknya ada tiga gaya belajar,
yaitu gaya visual, gaya auditorial dan gaya kinestik. Dengan melibatkan seluruh
indera dalam pembelajaran, semua gaya belajar itu akan terlayani. Kalau semua
siswa terlayani, belajar akan berjalan efektif
• Belajar Terbaik dalam Keadaan Alfa. Sebagaimana stasiun
pemancar radio atau televisi, otak manusia juga bekerja pada gelombang atau
frekuensi tertentu. Ketika kita dalam keadaan terjaga atau sadar penuh, otak
bekerja pada gelombang Beta. Manakala kita sedang waspada relaks, otak bekerja
pada gelombang Alfa. Otak kita akan bekerja pada gelombang Theta jika kita
mengangguk atau hamper tertidur. Dan pada saat tertidur pulas, otak kita
bekerja pada frekuensi Delta. Mengapa belajar terbaik itu pada frekuensi Alfa?
Karena sebagian besar memori kita disimpan di pikiran bawah sadar. Dan yang
dapat menghantarkan memori ke pikiran bawah sadar adalah gelombang Alfa. Lalu
bagaimana mencapai kondisi Alfa? Dengan meditasi atau dengan mendengarkan
musik.
Apa yang saya paparkan di atas hanya akan menjadi pemanis bibir bila tidak ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Keberhasilan memerlukan keberanian dan aksi. Jangan takut pada kegagalan. Kegagalan sebenarnya merupakan jalan terang menuju keberhasilan. Kata Ary Ginanjar Agustian dalam buku ESQ Model (Arga, 2001), kegagalan itu ibarat menggosok intan berlian. Semakin sering kita gagal, semakin sering juga kita menggosok intan. Niscaya intan berlian itu akan semakin bersinar.
Demikian pokok-pokok pembelajaran masa kini yang dapat saya sajikan. Semoga tulisan yang saya ramu dari beberapa buku dan sekelumit pengalaman pribadi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kekurangan di sana sini tentu merupakan keniscayaan. Selamat memberdayakan siswa
Apa yang saya paparkan di atas hanya akan menjadi pemanis bibir bila tidak ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Keberhasilan memerlukan keberanian dan aksi. Jangan takut pada kegagalan. Kegagalan sebenarnya merupakan jalan terang menuju keberhasilan. Kata Ary Ginanjar Agustian dalam buku ESQ Model (Arga, 2001), kegagalan itu ibarat menggosok intan berlian. Semakin sering kita gagal, semakin sering juga kita menggosok intan. Niscaya intan berlian itu akan semakin bersinar.
Demikian pokok-pokok pembelajaran masa kini yang dapat saya sajikan. Semoga tulisan yang saya ramu dari beberapa buku dan sekelumit pengalaman pribadi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kekurangan di sana sini tentu merupakan keniscayaan. Selamat memberdayakan siswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar