KISAH
KEHIDUPAN MANUSIA
Judul Buku :
Belenggu
Pengarang :
Armijn Pane
Penerbit :
Dian Rakyat, Jakarta
Tahun :
1938, Cetakan XVII 1995
Jumlah Halaman : 150 halaman
Novel karya Armijn Pane dengan
tebal 150 halaman ini mempunyai sejarah yang menggemparkan. Menurut sejarah,
buku ini pernah ditolak oleh Balai Pustaka, ramai dipuji dan dicela. Akan
tetapi, tak urung akhirnya menjadi salah satu novel klasik modern Indonesia
yang harus dibaca oleh orang terpelajar Indonesia.
Armijn Pane ialah seorang
romantikus yang suka mengembara dalam jiwanya. Ia identik dengan zaman baru.
Hal ini memengaruhi isi cerita ini sehingga pada waktu diterbitkan, Belenggu dianggap sesuatu yang baru. Belenggu memberi arah naru dalam
kesusastraan Indonesia, baru dalam ceritanya, gaya bahasanya, dan gaya atau
cara mengarangnya.
Alur yang digunakan dalam novel
ini adalah alur campuran, namun dominan menggunakan alur maju. Walaupun
demikian, dapat membawa para pembacanya menelusuri cerita demi cerita. Cara
pengarang menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita ini berlainan dengan cara yang
biasa dipakai pengarang lain. Tokoh utama pria, Sukartono, adalah seorang yang
mau berkorban demi orang lain dan ia pun seorang suami yang mandiri dan
memiliki ego yang tinggi. Sementara itu, Rohayah digambarkan sebagai sosok
wanita yang lemah lembut, penyayang dan penuh perhatian, tetapi memiliki masa
lalu yang suram.
Gaya bahasa yang digunakan
dianggap sebagai gaya yang baru dan berbeda. Armijn Pane banyak menggunakan
bahasa Melayu dan bahasa Belanda yang membuat para pembaca tidak mengerti dan
harus menerka maksudnya. Dalam novel ini Armijn pandai menyelipkan
ungkapan-ungkapan yang disusun secara menarik sehingga memberikan suasana yang
romantis.
Kisah dalam Belenggu diawali dari kehidupan perkawinan Sukartono dan Sukartini
yang sudah tidak baik lagi. Sukartono kecewa karena sikap Tini yang berubah
setelah menikah. Tini tidak peduli akan kehidupan rumah tangganya. Suatu saat,
Tono bertemu dengan Nyonya Eni atau Rohayah. Dari wanita inilah Tono
mendapatkan perhatian, kasih sayang dan kehangatan yang tidak didapatkan dari
istrinya. Walaupun demikian, Tono dihantui perasaan bersalah atas
perselingkuhannya dengan Rohayah karena ia sebenarnya masih mempunyai perasaan
cinta pada istrinya. Namun, hal ini tidak menjadikan situasi kehidupan rumah
tangganya semakin membaik karena dari masing-masing pihak tidak ada yang
berusaha untuk memperbaikinya.
Para tokoh yang dilukiskan daam
novel ini hampir menyerupai karikatur karena terlalu berlebihan. Dalam
melukiskannya, Armijn pikiran dan semangatnya. Gambaran Armijn terhadap
tokohnya tidak tegas dan konsekuen. Namun, bagaimana pun buku ini telah membawa
suatu kemajuan bagi sastra Indonesia karena cara penyampaian ceritanya yang
unik. Tidak rugi bila kita mencoba untuk membacanya.
Novel ini banyak mengandung
amanat yang sangat bermanfaat bagi pembacanya. Armijn mengajarkan kepada kita
untuk berbagi dan berkorban untuk orang lain.
Hal yang menarik dari cerita ini
adalah permainan perasaan pengarangnya yang memberikan suasana yang romantis.
Dalam novelnya, Armijn pandai menyelipkan pertanyaan yang terus tersirat dari
mula sampai akhir cerita, seperti kalimat berikut ini, “ Baiklah memandang ke
belakang, bergunakah zaman dahulu, tidakkah lebih baik. Kalau zaman dahulu itu
dibenamkan saja, dilupakan sama sekali?”.
Namun, dengan segala keindahan
dan kelebihannya, buku ini membawa pembacanya mendapat kesulitan dalam
menangkap maksud Armijn Pane, terutama karena banyaknya penggunaan bahasa
Melayu dan bahasa Belanda. Pemakaian ungkapan dan kiasaan dalam kalimat membuat
cerita ini terasa berat. Meski demikian, cerita ini tetap memikat dan penuh
dengan muatan pesan yang dapat direnungkan dan diterjemahkan lebih dalam.
Info Tokoh
Armijn Pane
Dilahirkan
di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 18 Agustus 1908, meninggal di Jakarta, 16
Februari 1970. Berpendidikan HIS dan ELS
(Tanjung Balai, Sibolga dan Bukittinggi), STOVIA Jakara (1923), NIAS Surabaya
(1927) dan AMS-A Solo (tamat 1931). Pernah menjadi wartawan di Surabaya, guru
Taman Siswa di Kediri, Malang dan Jakarta, sekretaris dan redaktur Pujangga
Baru (1933-1938), redaktur Balai Pustaka (1936). Ketua Bagian Kesusastraan
Pusat Kebudayaan (1942-1954), sekretaris BMKN (1950-1955) dan redaktur majalah
Indonedia (1948-1955).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar